Di balik layar penulis itu ada banyak kebiasaan aneh: kopi kedua jam tiga pagi, folder bertuliskan “Draft_FINAL_FINAL2”, dan kebanggaan kecil ketika klien bilang “bagus”. Saya bukan superstar—hanya penulis yang pernah ditolak, menangis sedikit, lalu bangkit lagi dengan keyboard yang sama. Artikel ini kumpulan tips praktis dan curhat ringan tentang proposal, CV, artikel, dan proses editing. Yah, begitulah.
Proposal: Bukan Naskah Sinetron, tapi Jangan Kaku
Proposal sering disalahpahami sebagai dokumen kaku berisi bahasa formal yang bikin ngantuk. Padahal tujuan utamanya sederhana: bikin orang paham masalah, solusi, dan kenapa kamu yang terbaik. Saya biasanya pakai struktur tiga bagian: pembuka singkat (masalah), solusi yang jelas (apa yang akan dikerjakan), dan penutup (biaya & timeline).
Contoh kecil: kalau klien ingin artikel blog untuk meningkatkan traffic, jelaskan riset kata kunci singkat, outline topik, frekuensi posting, dan estimasi hasil realistis. Tambahkan testimoni singkat kalau ada—orang lebih percaya kata orang lain daripada omongan diri sendiri. Saran: jangan lebih dari dua halaman kecuali diminta detail teknis.
CV Penulis (atau Kenapa Portofolio Lebih Penting)
CV penulis itu lucu: pengalaman formal berperan, tapi portofolio sering menentukan. Saya pernah lolos projek karena satu artikel lama yang isinya relevan—bukan karena gelar. Jadi, tata CV sederhana: header, ringkasan singkat (1-2 kalimat), pengalaman relevan, pendidikan singkat, lalu link portofolio.
Di bagian pengalaman, fokus pada hasil: “meningkatkan trafik 30% dalam 3 bulan” terdengar lebih menggigit daripada “menulis artikel untuk blog”. Jangan ragu menyisipkan contoh tulisan terbaik dengan konteks singkat—apa tujuan tulisan, bagaimana metriknya. Kalau belum banyak pengalaman, buat studi kasus mini untuk menunjukkan proses berpikirmu.
Menulis Artikel: Struktur, Suara, dan Sedikit Drama
Menulis artikel menurut saya itu seperti ngobrol di kafe—harus jelas, ramah, dan ada alur. Mulai dengan hook yang menarik, lalu jelaskan masalah, beri solusi atau insight, dan tutup dengan ajakan bertindak atau ringkasan. Gunakan subjudul untuk memecah teks, bullet kalau perlu, dan contoh nyata supaya pembaca nggak kabur.
Suara tulisan penting: jangan pura-pura jadi ilmuwan kaku kalau topik ringan. Saya pernah menulis panduan teknis dengan nada santai—respons pembaca malah lebih bagus. Tetap jaga akurasi, tapi berikan napas personal di beberapa bagian. Di sisi SEO, pikirkan kata kunci utama tapi jangan paksakan—konten yang enak dibaca biasanya juga disukai pembaca dan mesin pencari.
Editing: Toxic? Enggak, Ini Hiburan buat Teks
Kalau menulis itu melahirkan, editing itu membesarkan anak. Banyak penulis melewatkan langkah ini karena buru-buru, padahal editing mengubah “lumayan” jadi “bagus”. Proses saya: jeda beberapa jam atau bahkan sehari, baca keseluruhan, lalu lakukan edit berlapis—struktur, kejelasan ide, pilihan kata, dan terakhir kebersihan bahasa (typo, tanda baca).
Checklist cepat: apakah tiap paragraf punya tujuan? Ada kata ulang yang bikin bosan? Kalimat panjang bisa dipotong? Kalau mau aman, minta orang lain baca; mata segar sering menemukan yang kita lewatkan. Dan kalau kamu lagi sibuk atau butuh sentuhan profesional, ada layanan penulisan yang membantu mempercepat proses—cari opsi terpercaya seperti cemwritingservices yang pernah saya temui di perjalanan freelancing.
Terakhir, sedikit jujur: kadang kita terlalu fanatik pada “aturan”. Saya dulu sering takut menulis di luar format, sampai sadar pembaca butuh cerita bukan daftar instruksi. Jadi eksperimen itu perlu—jika gagal, ya pelajari, dan kalau berhasil, rayakan kecil-kecilan. Menulis itu perjalanan panjang, bukan lomba lari cepat.
Semoga panduan santai ini membantu kamu yang mau mulai atau memperbaiki cara kerja. Kalau ada yang mau ditanyakan—format proposal, template CV, atau cara mengedit paragraf yang membosankan—tulis aja. Saya selalu senang berbagi, karena pada akhirnya kita semua cuma berusaha menulis lebih baik hari demi hari.